Senin, 18 Juli 2011

the women of old house

Suara   isakkan tangis yang diciptkan oleh tuhan terniang di telingaku. Ragaku bergetar , hembusan angin seolah mendorongku ketempat itu. Disebuah gedung tua suara itu berasal. Hatiku bergejolak ingin sekali melihat asal suara itu. Begitu kubuka pintu bangunan itu, suara isakkan tangisan itu terdengar samar-samar. Semakinku cari suara itu semakin menghilang. Seolah menipuku bahwa aku hanya mengira.
             Tempat itu sangat teramat gelap. Aku hanya melihat ketinggian yang tak terpandang. Aku masuk kesuatu ruangan yang aku kira itu jalan keluar. Ruangan itu sangat busuk , lebih busuk dari bangkai. Ditembok keluar lender-lendir hijau yang membuat ruangan layaknya isi perut manusia. Aku terperanjak ketika melihat seorang wanita tergeletak di sudut ruangan. Kaki wanita itu penuh borok yang dihinggapi belatung. Seakan itu merupakam surge bagi belatung. Aku dengan sendirinya memuntahkan apa yang aku makan tadi. Tak sanggup aku melihat sesosok tubuh yang hidup tapi terlihat seperti bangkai.
             Aku dekati wanita itu dengan tatapan cemas.
           “nona, nona !”
             Cucur keringat mengalir bak air sungai di Niagara. Baru aku sadar bahwa wanita itu tengah pingsan. Dengan baju hijau yang menjadi merah karena darah, melengkapi sosok tubuhnya yang seperti bangkai. Dengan menahan rasa jijikku, aku gendong wanita itu di punggungku. Cairan merah yang disebut darah itu melekat di bajuku dan air liur yang bagaikan lender putih itu tertampung di punggungku. Bagai memecah duren rusak sebelanga.
         “nona, nona !”
Usahaku membangunkannya. Aku mencoba membawanya keluar dari bangunan ini. Sesaat didepan pintu, pintunya menghilang rata oleh dinding. Hanya ada jendela laksana jeruji besi tahanan. Sungguh miris hatiku, ketika kutahu ini bukan mimpi. Kulihat kelengit-langit, ada satu celah cahaya surya dilantai tiga.
        Dengan beratnya langkah, kucoba menaiki tangga. Baru menyusuri tapak kelima, sesuatu terjadi.
      “braaaaak.”
          Dasar tangga itu rapuh dan ambles. Dengan reflek batiniaku, aku berlari tanpa peduli apa yang terjadi. Retakan itu semakin mengejarku, semakin dekat,semakin lebih dekat, semakin sangat dekat, dan akhirnya tetes darah keluar dari jari kakiku.
          Saat aku menghindari retakan yang mengincar nyawa kami, aku melompat disaat jariku tersangkut di kawat tangga. Perih, silu, pedih, tiga kata mewakili sakitnya ini.
        “ctaaaarrrr.”
         Kilau putih , bersahutan dilangit. Air mata tuhan berjatuhan menembus gedung tua ini. Kulihat ada kaleng bekas hitam berkarat, tergeletak di lantai. Kutampung tetesan rezeki ini. Entah apa mikroba yang terdapat di kaleng ini. Jikalau dahagaku hilang tiada kuman yang kupandang.
      “Nona, nona ! “
        Sekali lagi kucoba membangunkannya. Hari semakin gelap, cuaca semakin dingin, tiada hal yang bias kurasakan lagi. Kulihat wajah wanita itu, penuh ekspresi kebahagian yang terpancar. Seakan bahagia karena telah menyiksaku. Dingin, kaku tubuh wanita itu.
       “Nona, nona !”
         Kekhawatiran merasuk diriku. Aku takut wanita ini telah tiada. Kubuka bajuk panjangku, kupasangkan ke wanita itu. Beradu gigi-gigiku menahan dinginnya ini. Tapi kehangatan mulai muncul saat kudekati dan kupeluk wanita itu. Aku terlelap dengan nyamannya di pelukan hangat itu.
         Sang surya kembali menampakkan wajahnya. Entah apa yang kurasakan saat ini. Tapi kehangatan selalu muncul ketika kubersamanya. Saat kutersadar air-air sudah membasahi tubuh kami. Kejadian anehpun mulai muncul kembali. Sedikit demi sedikit lantai ini mulai retak. Seakan tak kuat menahan beratnya beban. Segera kupikul wanita itu, menuju tangga lantai tiga.
         Lari, lari, lari, itulah yang kupikirkan. Ntah apa yang terjadi, retakan lantai itu semakin cepat mengejar kami. Aku tak tahu teori kecepatan tetap bias berubah dalam waktu singkat. Tangga lantai tiga mulai bergetar. Setibanya di lantai tiga kejadian naas menimpaku. Kayu balok berukuran besar menimpaku dari langit.
       “Braaaakk”
          Wanita itu terpental ke lantai, dan aku terjatuh kelantai dua yang menjadi jurang. Lalu sebuah besi kecil membuatku tersangkut di pinggir lantai tiga. Tapi sampai kapan aku harus menggatungkan tanganku di besi ini. Detik-detik penghabisan tenagaku mulai terasa. Jika ini memang akhir hidupku, aku akan terima. Setidaknya di penghujung hidupku, aku telah melakukan hal yang berarti. Saat ku melepas genggamanku, sesosok tubuh menangkap tanganku.
         “ Bertahanlah !”
          Kata pertama yang kudengar dari wanita itu. Kuberikan tanganku yang kedua. Dengan titk tenaga penghabisan, dia berhasil menarikku. Apakah ini wujud kuasa Tuhan ?  Apakah ini sosok malaikat ? Apakah aku telah menentang takdir ? beragam pertayaan muncul dibenakku.
     “ terimah kasih”
     “haruskah engkau yang pertama mengatakannya?”
     “tidak, itu bahkan masih kurang jika dibandingkan atas kebaikan dirimu, Tuan”
     “siapa dirimu?”
     “aku wanita beruntung dengan sejuta kekurangan”
     “apa pangilanmu, Nona?”
     “engkaulah yang bias memberiku nama”
     “ Mawar….?”
      Terdiam wanita itu, menunduk dengan wajah malu. Seakan terbongkar semua rahasia.
“indah, begitu indah nama yang engkau berikan, pantaskah insan hina ini mendapatkannya?”
“tak ada hal yang kupandang hina didunia inin, hanya satu hal yang kubenci, kurang usaha dari hati yang membuat jadi pecundang sejati”
         Senyum lembut keluar dari wajah wanita itu. Seakan kelembutan, kehangatan, menjadi satu di senyumnya.
       “apakah ada rahasia yang kau sembunyikan, sehingga kau terdampar disini?”
         Dengan tatapan bola bening, dia menjawab dengan halus.
        “hemm, rahasia membuat seorangwanita menjadi  wanita”
           Terbelangak diam seribu kata aku mendengarnya. Jelmaan wanita yang hanya ada satu diantara seratus juta. Wanita yang langkah untuk didapatkan.
           Lalu aku menemukan sebuah tali tambang diawah kursi tua. Seakan mau membantuku keluar dari gedung tua ini. Setelah melewati celah jendela, tibalah kami diluar gedung tua ini. Dengan rasa segan kuajak wanita itu kerumahku. Esok harinya aku dan wanita ini pergi ketempat gedung tua itu. Sungguh tercengang diriku, meliahat apa yang terjadi. Ketika ku menoleh kewanita itu dia hanya tersenyum. Gedung tua yang bagaikan penjara belanda itu hilang serta merta bagaiakan ditelan bumi. Yang ada hanya taman indah dengan bunga penuh warna yang bagaikan taman surga.
           Inikah masa depan yang akan menantiku. Penuh rintangan yang tak terbendung. Berliku-liku bagai kerasnya hidup. Semua ini memberiku pelajaran usaha yang gigih, penuh rasa semangat, pantang menyerah, dan usaha dari hati,  memberiku kekuatan tambahan menjalani kerasnya hidup. Inilah gambaran masa depan yang menjadi jalan takdirku, bersama wanita gedung tua, ‘MAWAR’.